Halaman

Monday 27 February 2012

MEMBANGUN EKONOMI INDONESIA MELALUI SEKTOR PERTANIAN

Kalau kita sungguh-sungguh mencintai Indonesia yang merdeka, yang bersatu, tidak terpecah belah, berdaulat, adil dan makmur, marilah bercermin sebentar, kembali kepada cita-cita dahulu yang begitu suci, dan mengembalikan pemimpin yang jujur dan berpadu dengan semangat pengorbanan (Mubyarto, 1995)
Rentetan kalimat tersebut menjadi bahan renungan bagaimana arah pembangunan negara ini berjalan, termasuk didalamnya pembangunan perekonomian Indonesia. Sebelum berbicara mengenai perekonomian Indonesia, alangkah baiknya jika kita mengetahui apa itu definisi perekonomian?. Perekonomian adalah suatu konsep yang sangat rumit dimana didalamnya terdapat beberapa hal yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain dan bersifat fleksibel. Beberapa hal yang saya maksud tersebut adalah adanya permintaan, penawaram, produksi, distribusi barang dan jasa. Proses tersebut akan mempunyai dampak positif, dalam artian meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa manakala kegiatan ekonomi itu terselenggara dalam posisi keseimbangan antara permintaan dan penawaran, produksi, distribusi barang dan jasa (Pramono, 1995). Lebih jelasnya perekonomian merupakan suatu bidang kegiatan hidup manusia dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya dengan adanya batasan alat pemuas kebutuhan.
Menurut saya kajian mengenai ekonomi memang menjadi suatu bahasan diskusi yang tidak ada habisnya, apalagi kita membahas mengenai perekonomian Indonesia[1]. Lalu apa itu perekonomian Indonesia?. Didalam benak saya, perekonomian Indonesia adalah suatu konsep pemahaman yang mempelajari mengenai suatu kondisi perekonomian Indonesia secara spesifik. Bisa dikatakan perekonomian Indonesia adalah suatu studi mengenai potensi ekonomi negara Indonesia.
Proses kegiatan pembangunan menjadi suatu konsensus bagi semua warga negara Indonesia untuk mengimplementasikannya demi mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Arah dan tujuan pembangunan yang hendak dicapai sudah sangat jelas yaitu terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat, yang kemudian ditandai dengan adanya meningkatnya pendapatan sebagi hasil dari penambahan hasil produksi. Berbicara menngenai asumsi pembangunan antara lain full employment, terjadi ketika semua sumberdaya yang ada dapat dipergunakan secara maksimal yang ditandai dengan adanya kesempatan kerja yang dimanfaatkan secara maksimal pula. Asumsi pembangunan yang kedua adalah mengenai equal productivity. Equal productivity ini dijelaskan bahwa setiap individu mempunyai kesempatan yang sama, dan pada akhirnya akan menghasilkan produktivitas yang sama juga. Kemudian asumsi pembangunan yang terakhir adalah adanya rational-efficient. Rational-efficient ini terjadi ketika para aktor ekonomi memakai pemikiran yang rasional dan menggunakannya dalam mengambil setiap decision.
Saya merasa sedih ketika ada orang berbicara mengenai, orang Indonesia yang pintar buat teori namun implementasinya 0 besar. Bukannya saya membenarkan, tetapi hal itu memang bisa terjawab jika kita melihat fenomena/kenyataan yang ada. Asumsi-asumsi pembangunan belum sepenuhnya terpenuhi. Jika asumsi belum terpenuhi bagaimana dengan arah tujuan pembangunan?. Melihat kenyataan yang ada hasil-hasil pembangunan negeri ini hanya dinikmati oleh sebagian penduduk saja. Efek dari fenomena ini bisa diibaratkan sebagai sebuah penyakit yang saling menular. Penyakit itu adalah peningkatan pengangguran yang kemudian menular menjadi peningkatan kemiskinan dan berdampak menjadi terciptanya kesenjangan. Meskipun data BPS menunjukkan adanya penurunan kemiskinan dari tahun 2010 ke 2011. Tahun 2011 kemiskinan telah turun menjadi 30,02 juta penduduk (12,49 persen), sementara itu di tahun 2010 sebesar 31,02 juta (13,33 persen). Boleh dikatakan bahwa program pemerintah semacam KUR dan PNPM Mandiri berhasil menurunkan kemiskinan tetapi hanya untuk dimensi jangka pendek.
Menurut saya langkah yang paling nyata adalah memperkuat pembangunan sektor pertanian dan industri pertanian (termasuk perikanan). Karena kedua sektor itulah yang sebetulnya menjadi endowment faktor perekonomian nasional (sumber pertumbuhan ekonomi nasional). Kedua sektor tersebut menjadi basis/akar utama dalam mencapai terciptanya tujuan pembangunan nasional (kesejahteraan)[2]. Alasannya menurut saya sektor riil memiliki daya serap tenaga kerja yang jauh lebih tinggi ketimbang sector nontradeable. Sektor tradeable akan menimbulkan efek positif yaitu pendapatan per kapita akan semakin merata. Sedangkan, sektor nontradable yang meliputi telekomunikasi, keuangan, jasa, perdagangan, dan lainnya hanya menyerap tenaga kerja tertentu, yang utamanya memiliki skill dan pendidikan yang tinggi. Masih ingatkah kenangan Indonesia yang  begitu sukses membangun perekonomian berbasis pertanian pada era 1990-2000. Dan hal ini dapat dibuktikan dengan tercapainya swasembada beras pertama kali pada 1984.
Jika kita berpikir lebih jauh seharusnya negara melihat kembali potensi-potensi yang ada. Potensi yang dahulu bisa membuat Indonesia ini jaya dan mendunia. Dengan mengembalikan sumber pertumbuhan ekonomi yang dahulunya menopang negara ini. Dikemanakah sebutan negara agraris? Dikemanakan kejayaan swasembada beras? Yang ada selama ini hanya berita mengenai 60% kedelai diimpor dari Amerika, Impor beras Indonesia sebesar 2  juta ton, impor jagung untuk pakan ternak naik sebesar 48% dan masih banyak kegiatan impor-impor yang lain yang seharusnya negara kita sendiri bisa produce hasil pertanian tersebut. Perlu kita ketahui impor di tahun 2011 adalah titik puncak impor tertinggi sepanjang sejarah (Data Deperindang 2012).
. Disini saya tidak serta merta menyalahkan pemerintah, tapikan pemerintah mempunyai peran sebagai regulasi atas jumlah impor yang masuk ke Indonesia Yang menjadi pertanyaan saya adalah Pemerintah lebih suka berfikir secara  instan dengan mengimpor beras dalam jumlah besar dibandingkan dengan mulai melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi lahan yang dibarengi dengan pembekalan pengetahuan dan pelatihan kepada para petani. Seharusnya anggaran itu dipergunakan untuk mengalokasikan dana untuk meningkatkan kompetensi petani . Lebih dari itu harus ada penghentian perluasan penambangan yang memberikan efek pengurangan pada lahan pertanian. Perlu kita tahu yang meluas bukannya lahan pertanian tetapi areal penambangan mineral atau proyek lainnya. Yang saya takutkan hanya adanya alih fungsi lahan seperti di Kabupaten Klaten yang rata-rata, setiap tahun ada 33,8 hektare lahan pertanian di Klaten yang sudah beralih fungsi (Wahyu Prasetyo, 2011)
Pemerintah harus cepat sadar mengenai pengembangan sektor tradable yang mana dapat menghasilkan devisa dan dapat meningkatkan standar hidup masyarakat Indonesia. Dan membatasi alih fungsi lahan menurut kriteria tertentu. Karena kalau tidak, dalam jangka panjang akan mematikan nasib kaum petani secara pelan-pelan dan kita akan terus mengimpor bahan makanan secara besar-besaran,


[1]Badan otonom FE UI, “Ekonomi Indonesia di mata anak muda UI”, seri pemikiran mahasiswa , Januari 2011, h. 1.
[2]Rita Hanafie , “Pengantar Ekonomi Pertanian”, Andi Publisher Mei 2010, h. 36.